Manajemen Media: Book Review
Ujian Tengah Semester
Manajemen Media
Review Buku
Industri Pertelevisian
Indonesia dari Heru Effendy
Oleh:
Putri
Ayu Hidayatur Rafiqoh
14/376401/PSP/05334
Judul buku : Industri Pertelevisian Indonesia
Editor :
Wibi Hardani
Desain
cover : Arif Wahyudi
Penerbit :
Penerbit Erlanggga
Dicetak :PT. Gelora Aksara
Pratama
Tahun
terbit :
2008
Jumlah
halaman : 125
Penulis
Heru Effendy memulai
karirnya dalam produksi film pada tahun 1997 sebagai asisten produksi di Mira
Lesmana’s Film Company (Miles Production). Selanjutnya ia menjadi produser dan
sutradara. Bukunya yang sudah diterbitkan adalah “Mari Membuat Film, Panduan
Menjadi Produser”. Buku itu adalah buku terbitan Indonesia yang membahas
manajemen produksi film.
Pendahuluan
Masyarakat akhir-akhir
ini semakin resah terhadap tayangan-tayangan televisi yang kian hari kian
memberikan dampak negatif, khususnya para orangtua yang bingung
tontonan-tontonan apa yang sekiranya layak bagi anak-anak mereka. Kekhawatiran
itu semakin lengkap tatkala televisi justru menyuguhkan banyak tayangan hiburan
tanpa unsur edukasi. Buku ini adalah salah satu yang mengupas isu-isu
pertelevisian yang kini sedang hangat diperdebatkan tidak hanya dikalangan
lembaga pertelevisian, tetapi juga para akademisi. Ditulis berdasarkan
pengalaman pribadi penulis yang berkecimpung langsung di dunia pertelevisian.
Dan menjadi penting untuk di review, dikaitkan dengan isu aktual tentang
perkembangan teknologi modern yang tidak dapat dihindari, sekaligus untuk
memberikan kesadaran kepada masyarakat agar lebih aware terhadap hal tersebut.
Isi
Buku
Industri pertelevisian
yang telah berkembang pesat membuat banyak perubahan yang cukup signifikan pada
masyarakat. Jika dulu para pemirsa hanya memiliki satu-satunya pilihan saluran
televisi, yaitu TVRI, sekarang sudah ada banyak sekali pilihan saluran mulai
dari yang bersifat lokal, nasional, hingga internasional. Buku ini ditulis
berdasarkan keprihatinan penulis akan situasi dimana perkembangan pertelevisian
Indonesia ternyata banyak membawa dampak negatif bagi masyarakat.
Dikarenakan membanjirnya tayangan-tayangan yang tidak bermutu, terlalu
besarnya porsi acara hiburan, merebaknya Jakartasentrisme, dan masih banyak
lagi. Buku ini berjenis kajian, penuh kritikan terhadap pertelevisian Indonesia
dan lemahnya lembaga yang menanganinya. Buku ditujukan langsung kepada penonton
(masyarakat), dan dikhususkan kepada lembaga-lembaga yang berkecimpung di
pertelevisian Indonesia.
Berdasarkan realitas
yang terjadi pada industri pertelevisian yang terjadi di Indonesia, penulis
menjelaskan secara detail semua aspek tayangan televisi dan relasinya dengan
kepentingan penonton. Penulis menganggap bahwa ketidak-beresan dalam
tayangan-tayangan televisi disebabkan karena penataan industri pertelevisian di
Indonesia yang berada dibawah naungan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) masih
belum sempurna. Hal ini didukung dengan yang diungkapkan ketua Yayasan
Pengembangan Media Anak (YPMA) Bobby Guntarto berpendapat hal yang sama, ”KPI
belum sepenuhnya menjalankan tugas dengan baik”. Senada dengan Bobby Gurtanto, seorang
mantan pekerja TV yang juga aktif di Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta,
Luviana mengatakan “Masih banyak tayangan yang tidak berkualitas di TV kita”. Hal
ini, menurutnya, terjadi karena KPI belum maksimal menjalankan tugasnya. (http://www.duaberita.co/2013/06/30/kinerja-kpi-di-mata-masyarakat/.
Dikutip 09/04/2015, 00:04)
Penulis juga mengungkapkan
dalam bukunya, bahwa tayangan televisi membuat masyarakat saat ini sudah tidak
mampu lagi memfilter informasi dari tayangan televisi, antara manakah informasi
yang layak untuk diserap dan dipercaya dan mana yang tidak. Perkembangan
teknologi dan kecanggihan produsen dalam mengemas iklan telah mendorong
terjadinya pergeseran gaya hidup di masyarakat dengan memprioritaskan sesuatu
yang sebenarnya bukan kebutuhan primer menjadi kebutuhan primer. Dorongan
konsumtivisme melalui tayangan televisi ini terlihat sangat jelas, dimana
masyarakat akan terpengaruh untuk membeli, menggunakan, mengkonsumsi hal-hal
yang sebenarnya bukan kebutuhan pokok bagi mereka.
Buku ini menggambarkan
tentang buruknya kualitas industri pertelevisian Indonesia, mulai dari tayangan
televisi yang hanya mementingkan rating tanpa unsur edukatif didalamnya, eksploitasi
perempuan, keraguan penulis terhadap independensi KPI, fenomena jakartasentris,
terjdinya konflik social dan disintegrasi bangsa. Keseluruhan masalah tersebut
adalah akibat dari tayangan televisi.
Disini penulis mencoba
untuk membahas permasalahan dengan banyak menggunakan nada-nada kritikan,
kadang juga bersifat sindiran yang tersirat melalui kata yang diberi tanda
kutip (contoh: rating televisi disebut dengan “berhala industri penyiaran”).
Penulis mengkritisi dengan sangat tajam dan buku ini nampak seperti sebuah
bentuk pelampiasan atas keprihatinan penulis terhadap industri televisi
indonesia. Terdapat beberapa kalimat yang mengungkapkan kekesalan dan
mengisyaratkan bahwa ketika buku ini ditulis, penulis sedang dalam puncak
kekecewaannya. Contohnya, penulis bahkan memberikan salah satu sub-judulnya
dengan kalimat “berhenti menjadi penonton!”.
Gagasan yang menonjol
dari buku ini adalah tentang fenomena “Jakartasentris” yang terjadi di televisi
kita, yaitu situasi dimana Indonesia seakan ingin dikerdilkan hanya seluas
Jakarta saja ,Sehingga banyak remaja dan anak-anak yang merasa ketinggalan
zaman jika tidak menggunakan istilah atau ujaran yang dipakai warga Jakarta
(contoh: elu-gue). Mayoritas tayangan yang selalu berbau Jakarta memenuhi keseharian
seluruh masyarakat Indonesia dari Sabang sampai Merauke. Nyaris tidak ada ruang
untuk orang lain selain orang Jakarta. Penulis bahkan menjelaskan bahwa itu
adalah sebuah pelanggaran UU penyiaran pasal 31 ayat (3) yang mengharuskan
stasiun TV swasta mempersempit jangkauan siaran ke daerah-daerah di Indonesia.
Karena hanya TVRI-lah yang memiliki kuasa berjangkauan nasional. Pendapat ini
juga sejalan dengan apa yang diungkapkan Puji Rianto, dkk (2012:112) dalam
bukunya Digitalisasi Televisi di Indonesia
yang menyatakan bahwa sistem penyiaran televisi di Indonesia harus berlandaskan
stasiun TV berjaringan dan stasiun TV lokal dimana induk televisi berjaringan
tidak harus berada di ibu kota Negara, tetapi juga bisa terdapat didaerah,
misalnya ibu kota provinsi.
Saya sebagai warga
Kalimantan Selatan tentu sangat merasakan fenomena Jakartasentris ini, dimana
tayangan-tayangan di stasiun TV di Indonesia seluruhnya menayangkan hal-hal
seputar Jakarta, bahkan hal se-spesifik seperti arus lalu lintas dan prediksi
cuaca jabodetabek pun turut kami (warga Kalimantan) saksikan. Hal ini
ditunjukkan oleh penelitian Remotivi
dan FIKOM Unpad atas berita di 10 stasiun televisi nasional sepanjang Oktober
2012, yang menyatakan bahwa banyak isi siaran TV yang tidak relevan bagi banyak
publik di luar Jakarta.
(www.mediafire.com/view/v6b1zrv4k85xwjr/melipat_indonesia_pdf. Diakses
09/04/2015, 01:12). Penelitian yang ditulis dalam laporan berjudul “Melipat
Indonesia dalam Berita Televisi” ini menunjukkan bahwa berita asal Jabodetabek
mendominasi keseluruhan berita. Secara durasi kemunculan, berita asal
Jabodetabek mendapat 48% ruang pemberitaan, sedangkan untuk berita
Non-Jabodetabek (33 provinsi lainnya) hanya mendapat 38%. Ini artinya, setiap provinsi di luar Jabodetabek hanya mendapat
durasi pemberitaan sebesar 1,15%. Data ini menunjukkan bahwa separuh isi berita
televisi nasional hanya bicara persoalan Jabodetabek saja. (www.remotivi.or.id/media-redaksi/siara-pers-sistem-tv-bersiaran-nasional-merugikan-masyarakat-indonesia.
Diakses 09/04/2015, 01:12)
Kelebihan
Buku ini mengusung tema
yang sedang populer, yang sedang menjadi perbincangan banyak pihak. Setiap tema
dalam buku ini saling berkesinambungan, sehingga setiap bab menjadi penting untuk
dibaca. Karena penulis menjelaskan dengan sangat runtut dari awal hingga akhir.
Kualitas cetakannya bagus, menggunakan font yang jelas. Penggunaan kalimat
mudah untuk dipahami dan kadang sangat ekspresif dalam mengungkapkan opini. Dengan
cara itulah sehingga penulis mampu membawa pembaca untuk masuk ke dalam
permasalahan yang ada dan sukses mengkomunikasikan wacana dan tujuannya.
Bersumber dari realita
yang penulis rasakan secara langsung, menjadikan penulis tidak hanya tegas
dalam mengkritisi, tetapi juga menyuguhkan ide-ide segar dan alternatif-alternatif
solusi. Argument-argumen yang ditulis sesuai dengan data yang ada. Kemudian di
akhir halaman, penulis melampirkan Undang-Undang Penyiaran sehingga pembaca
tidak hanya disibukkan dengan komentar-komentar tajam dari penulis, tetapi juga
mendapat gambaran, mengetahui secara pasti sekaligus membandingkan langsung
realitas dengan UU penyiaran yang ada. Tentunya buku ini mampu memberikan
kontribusi bagi perbaikan industri televisi Indonesia.
Kekurangan
Cover depan kurang
menarik perhatian, gambar yang disajikan tidak berwarna. Sebaiknya, penulis
dapat menyajikan gambar yang berwarna agar pembaca dapat dengan jelas memahami
data yang ditampilkan melalui dokumentasi photo.
Penulis kurang
mengambil referensi dari buku atau artikel lain, penulis juga tidak memakai
pendapat-pendapat pakar lain. Padahal dengan mencantumkan pendapat dan
referensi lain tentu akan dapat lebih mendukung dan menguatkan argumentasinya.
Kesimpulan
Jika dibandingkan
dengan saat ini ditahun 2015, KPI telah memperbaiki dan memperjelas
regulasinya, namun realitanya tidak ada perubahan yang berarti pada siaran
televisi, justru semakin parah. Karena pada kenyataannya kesalahan yang harus
diperbaiki tidak hanya dari segi kebijakan dan regulasinya saja, tetapi lebih
kepada mental para pekerja pertelevisian di Indonesia.
Walaupun dalam buku ini
penulis benar-benar merasa terkecewakan dengan pertelevisian saat ini, tetapi
selalu ada kalimat-kalimat yang menyatakan pengharapan akan adanya kemajuan positif
dimasa depan. Penulis berusaha menuangkan gagasan untuk memicu kepedulian yang
mengarah pada terciptanya perbaikan di dunia pertelevisian Indonesia. Sebagaimana
yang diungkapkan Andi Fachruddin (2012:302) dalam bukunya Dasar-dasar Produksi Televisi yang mengungkapkan bahwa sebagai
lembaga independen yang memiliki kapabilitas sangat besar terhadap kemajuan
dunia penyiaran di tanah air, KPI menghasilkan karya produktif untuk
menertibkan isi siaran seluruh stasiun televisi agar melindungi para pekerja televisi
dan memberikan manfaat yang maksimal kepada pemirsa.
Buku ini sangat bagus dibaca
oleh siapa saja, terutama untuk orangtua agar dapat lebih memperhatikan segala
hal yang sebenarnya dekat dengan anak tetapi justru membawa pengaruh tidak baik
bagi mereka.
Komentar
Posting Komentar