Jurnal Komunikasi Sistem dan Aktor: Fungsi Media Massa (Televisi Dalam Merubah Gaya Hidup Masyarakat)
oleh:
Putri Ayu Hidayatur Rafiqoh
Pascasarjana Ilmu Komunikasi, Universitas
Gadjah Mada
Abstrak
Televisi
sebagai bagian dari Media massa adalah media komunikasi yang sangat dekat dengan
masyarakat memiliki pengaruh besar dalam membentuk karakter individu. Beragam berita, informasi, dan tayangan yang beredar
sangat mempengaruhi sikap hidup dalam masyarakat, media
massa bahkan mampu menanamkan ideologi ke benak pemirsa hingga menjelma menjadi suatu
gaya hidup. Ia menjadi alat yang sangat jitu dalam hal mentransfer sebuah nilai sehingga menjelma menjadi tatanan pola hidup
masyarakat.
Kata-kata kunci: media
massa, Televisi,
gaya hidup
Abstract
Television as a
part of mass media is a medium of communication which is very close to the
society has a big influence in build individual’s characters. A variety of mass
media’s news, informations, and shows strongly influence attitudes in society.
it becomes a highly accurate tool in transfering a value to develop into
lifestyle in society.
Key words : mass
media,
Television, lifestyle
Pendahuluan
Gaya hidup masyarakat Indonesia saat ini serba ingin menampakkan
kemewahan, glamour, dan konsumtif. Rumah, mobil
yang membanjir, dan berbagai pelengkap hidup yang tergolong mewah membuat
seakan-akan kemewahan adalah satu-satunya hal yang dapat menciptakan
kebahagiaan. Masyarakat seakan merasa jika tanpa kemewahan tersebut,
eksistensinya sebagai manusia belum dianggap. Lihat saja bagaimana pemerintah
Jakarta telah kehabisan akal untuk mengurangi kemacetan, bagaimana kesulitan
orangtua untuk memenuhi keinginan anaknya yang ingin memiliki gadget atau
kendaraan mewah demi mengikuti trend, dan bagaimana juga pemerintah berusaha
keras membasmi praktek prostitusi dikalangan masyarakat. Sesungguhnya semua itu
hanya beberapa contoh dari merebaknya gaya hidup yang sudah tertanam di dalam
kehidupan masyarakat.
Perubahan gaya hidup masyarakat tersebut tidak serta-merta terjadi
begitu saja. Hadirnya globalisasi yang tidak mampu difilter salah satu yang
menjadi penyebab perubahan gaya hidup, salah satunya adalah melalui tayangan
program televisi. Menurut Touraine (dalam Holmes, 2012) mengungkapkan bahwa globalisasi
dalam dunia sosial membuat masyarakat mengabaikan norma-norma yang sudah ada
dan berlaku sejak lama. Kemudian Teguh Imanto (2011:159)
menyebutkan bahwa beragam tayangan televisi yang beredar sangat mempengaruhi
sikap hidup dalam masyarakat, terutama tayangan yang kurang mendidik akan
mempengaruhi psikologi seseorang kearah negatif. Dalam tulisannya juga
menyebutkan bahwa pola hidup konsumtif, glamour di lingkungan remaja baik
perkotaan maupun pedesaan dan kesemuanya
itu hasil dari peniruan dari artis yang menjadi idolanya yang sering
ditayangkan pada program-program televisi.
Cerita yang sedang trend dalam televisi adalah tentang
mengumbar-umbar permusuhan, perselingkuhan, persekongkolan, rebutan warisan,
dan percintaan yang didominasi keglamoran hidup yang telah dikonstruksi
sedemikian rupa. Media massa telah menciptakan kelompok-kelompok berdasarkan
kelas. Berbagai macam gaya hidup telah dikonstruksi sedemikian rupa melalui
berbagai macam format acara hingga menimbulkan suatu kebohongan publik dan
tanpa sadar telah menjadi bagian hidup oleh kelompok kelas-kelas tertentu.
Suatu penanaman konsep ideologi ke benak pemirsa tentang suatu realitas sosial
yang telah dikonstruksi hingga menjadi suatu gaya hidup baru oleh
kelompok-kelompok dominan yang menjelaskan siapa yang berkuasa dan siapa yang
tidak berkuasa (Imanto, 2011:161).
Hal ini
jelas membuktikan bahwa apa yang ditayangkan oleh media massa - khususnya televisi - mampu mempengaruhi
individu dan mempola masyarakat berdasarkan apa yang
ditampilkannya. Ditambah lagi
dengan unsur edukasi televisi sangat kurang ditampilkan. Sehingga sewajarnya
para orangtua harus khawatir terhadap dampak televisi bagi anak-anak mereka.
Karena televisi bukan semata-mata sebagai arena hiburan saja, tetapi juga dapat
berperan sebagai pembentuk karakter mereka.
Disini kita akan mengkaji bagaimana peran yang bisa dilakukan media
massa khususnya televisi, dengan menggunakan konsep schema formation
dalam memperbaiki gaya hidup masyarakat Indonesia.
Media Massa
Setiap hari manusia tidak pernah terlepas
dari media massa, bahkan kini semua orang dapat dengan mudah mengakses berita,
iklan, maupun hiburan melalui ponsel pintar mereka. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (dalam Lukman, 2010:19), media massa adalah sarana dan saluran resmi yang
berfungsi sebagai alat komunikasi untuk menyebarkan berita dan pesan kepada
masyarakat luas atau alat yang menjadi perantara antara sumber informasi yang
terpusat dalam suatu lembaga media massa kepada audiensi dengan jumlah yang banyak.
Fungsi media massa menurut Sudarman
(2008:7, dalam Pratyaksa, 2013:3) antara lain menginformasikan (to inform),
mendidik (to educate), menghibur (to entertait), mempengaruhi (to influence),
memberikan respon sosial (to social responsibility), dan penghubung (to
linkage). Menginformasikan di sini adalah media massa merupakan tempat untuk
menginformasikan peristiwa-peristiwa atau hal-hal penting yang perlu diketahui
oleh khalayak. Selanjutnya adalah mendidik yang mana berarti tulisan di media
massa dapat mendorong perkembangan intelektual, membentuk watak dan dapat
meningkatkan keterampilan serta kemampuan yang dibutuhkan para pembacanya.
Media massa juga bisa berfungsi untuk menghibur di mana media massa dapat
memberikan hiburan atau rasa senang kepada pembacanya atau khalayak. Selain
menghibur, media massa juga dapat mempengaruhi, di mana pengaruhnya dapat
bersifat pengetahuan, perasaan, maupun tingkah laku. Selain itu, media massa
juga dapat memberikan respon sosial, di mana media massa dapat menanggapi
fenomena dan situasi sosial atau keadaan sosial yang terjadi. Dan yang terakhir
adalah media massa dapat menghubungkan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat
yang tidak bisa dilakukan secara langsung ataupun tak langsung. Adapun bentuk
dari media massa itu sendiri bermacam-macam, antara lain bisa dalam bentuk
cetak (Surat Kabar, Majalah, Tabloid, Buku, dll) ataupun dalambentuk media
elektronik (TV, Radio, Internet, dll).
Salah satu bentuk media massa yang akan
diulas secara lebih dalam disini adalah televisi. dimana televisi menjadi salah
satu media massa elektronik yang sangat dekat dengan masyarakat dan telah
menjadi bagian dari keluaga.
Niklas Luhmann; Schema Formation
Media massa sebagai sarana komunikasi antara manusia untuk penyebaran
informasi dan gagasan. Sehingga, media massa tersebut tentunya memegang peranan
penting dalam kehidupan manusia dalam berbagai bidang, seperti ekonomi,
politik, budaya, dan sebagainya. Dalam pandangan konstruktivisme, media
massa mengonstruksi informasi dan mendistribusikannya kepada masyarakat. Media
dipandang tidak mungkin melakukan peranan yang netral, terisolasi dari berbagai
pengaruh terhadap dirinya baik yang bersumber dari internal organisasi media
maupun dari luar media. Demikian juga masyarakat tidak sekedar menerima
informasi tetapi mengonstruksinya berdasarkan skematanya masing-masing (Karman,
2012). Namun Luhman menyebutkan bahwa media massa memiliki peran dalam
menentukan skemata masyarakat yang mengaksesnya. Media massa memiliki kemampuan
untuk membuat audiensnya menganggap penting sesuatu dan melupakan apa yang
media anggap tidak penting.
Dalam buku The Reality of Mass Media, Luhmann (2010) menyebutkan fungsi media massa
adalah sebagai pembentuk Schema Formation. Schemata sendiri terdiri dari
seperangkat aturan yang mengatur perilaku dan pola berpikir masyarakat. Schemata dapat memungkinkan
perasaan muncul, mengidentifikasi, dan menganggap sesuatu itu menarik, aneh,
atau bahkan berbahaya. “schema formation” inilah yang kemudian membentuk memori,
informasi, dan mengatur kebebasan seseorang sesuai dengan pemahamannya. Dengan kata lain, schemata adalah instrumen
lupa dan pembelajaran pada hal-hal baru. Dalam sistem ingatan, kita
dapat mengingat dan melupakan. Melupakan merupakan bagian yang penting dalam
proses mengingat. Dengan melupakan, kapasitas memori akan terisi dengan
pengalaman-pengalaman baru. Luhmann berasumsi bahwa media massa memberikan efek yang mampu
mempengaruhi proses seseorang dalam menerima informasi dan individu yang menerimanya
juga mampu memberikan keterangan-keterangan tambahan lebih daripada yang aktor
sampaikan padanya.
Nazaruddin (2008: 119) menyebutkan
televisi sebagai suatu proyek lupa. Maksudnya adalah meskipun masyarakat mengkonsumsi
tayangan berita, penonton digiring untuk lupa. Model pemberitaan yang mengikuti
aktualitas, bergerak dari satu isu ke isu lainnya, hal ini menjadikan
berita-berita yang disajikan menjadi dangkal dan miskin konteks. Sebagai contoh
yang diberikan, model pemberitaan terbaru yang diangkat oleh media membuat
masyarakat lupa nasib korban gempa Mei 2006 di Yogyakarta karena televisi tidak
memberitakannya lagi, masyarakat lupa kabar penggemplangan BLBI yang merugikan
negara trilyunan rupiah karena televisi tidak meliputnya lagi, masyarakat lupa
dengan kasus korupsi seorang pejabat tertentu, dan begitu seterusnya.
Permasalahan bangsa yang diberitaan di media beberapa waktu kemudian terlupakan
karena tergerus oleh berita-berita lainnya yang lebih aktual.
Fenomena-fenomena Televisi dalam mengubah gaya hidup masyarakat
Media massa membuat memori setiap
individu telah diperkaya dengan komponen-komponen fiksi melalui berita,
periklanan, dan hiburan. Segala yang ditampilkan melalui media massa, khususnya televisi mampu
membentuk pola pikir individu yang dapat mengarah pada pola tingkah laku.
Sehingga secara tidak langsung pola tingkal laku tersebut menjelma menjadi gaya
hidup dimasyarakat.
Suatu fakta yang terjadi dewasa ini banyak perubahan perilaku di
masyarakat, terutama dikalangan remaja.
Program televisi yang ditampilkan menjadi pemicu tentang pola hidup yang
ditampilkan. Seirama dengan yang diungkapkan Nyarwi (2008:155), bahwa media televisi berpengaruh terhadap konstruksi
kebudayaan dan perilaku sosial. Beragam
tayangan televisi yang beredar sangat mempengaruhi sikap hidup dalam
masyarakat. Misalnya saja film, sinetron, atau FTV yang sering ditayangkan
menampilkan kehidupan yang serba glamour, para pemainnya menggunakan mobil
mewah, rumah mewah, dan berpakaian minim dianggap sebagai orang yang hebat,
gaul, “kekinian”, dan disukai banyak
orang. Pengusaha yang kaya dan sukses yang bergelimang harta sebagai peran yang
banyak diangkat oleh televisi Indonesia. Sebaliknya, jika para pemain yang memerankan
tokoh dengan rumah sederhana, memakai sepeda, berpakaian biasa, dianggap
sebagai orang yang miskin, kurang pergaulan, tidak memiliki banyak teman, dan
hidupnya tidak bahagia. Tayangan-tayangan seperti ini secara tidak langsung
telah membius masyarakat untuk menerapkan hal yang sama dalam kehidupan
sehari-hari. Televisi secara langsung menanamkan nilai-nilai “kemewahan-lah
yang hebat” kepada yang menontonnya. Maka tidak heran jika dalam kenyataannya,
masyarakat berlomba-lomba memiliki banyak mobil, anak-anak berlomba-lomba
memiliki gadget tercanggih, dan remaja berlomba-lomba untuk eksis dalam
pergaulan bebas, semata-mata agar mereka diakui oleh lingkungannya sebagaimana
yang biasa ditayangkan ditelevisi.
Gambar 1: Moving-forw4rd.blogspot.in/2012/05/bahaya-dampak-positif-dan-negatif.html?m=1 |
Media berita
online Tempo pada 20 November 2009
mengangkat judul berita Tayangan Televisi
dinilai Ciptakan Trend Kejahatan, penulisan judul berita ini berangkat dari
pernyataan Sonny Andianto, psikolog Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,
yang mengatakan bahwa tayangan kekerasan seperti bunuh diri yang marak
disiarkan televisi telah menciptakan proses imitasi. Ia mencontohkan tayangan
bunuh diri dengan memanjat menara seluler telah menjadi trend baru dalam modus
bunuh diri. Jika sebelumnya bunuh diri dilakukan dengan cara gantung diri atau
meminum racun, kali ini telah memanfaatkan menara. Hal itu menunjukkan semakin
berkembangnya modus kejahatan di masyarakat yang secara tidak langsung
disosialisasikan oleh televisi. Masyarakat cenderung meniru apa yang
ditampilkan dalam televisi terlepas itu positif atau tidak.
Serupa tapi tak
sama dengan kejadian diatas, yaitu pembunuhan anak SD oleh teman-temannya yang
terinspirasi dari tayangan televisi swasta 7 Manusia Harimau yang
baru-baru ini terjadi belakangan ini. Seperti yang dikutip dari laman berita
online beranda.co.id pada 6 Mei 2015 lalu, sinetron 7 Manusia Harimau
yang ditayangkan disalah satu stasiun tv tanah air akhirnya memberikan dampak
tragis. Seorang bocah kelas 1 SD meninggal dunia setelah menjadi korban
teman-temannya dalam memperagakan gerakan silat yang ada dalam sinetron
tersebut. Kejadian tersebut dimulai pada jam istirahat sekolah. Korban yang
bernama Hasrandra merupakan siswa disekolah dasar Yayasan Islam Zaidar Yahya,
Rokan Hulu, Kota Riau. Kala itu, Randa, panggilan akrab Hasrandra, bermain
dengan mempergakan gerakan silat seperti yang ditayangkan dalam sinetron 7
manusia harimau. Hal tersebut kemudian diklarifikasi langsung oleh kepala
sekolah dasar Yayasan Islam Zaidar Yahya. Beliau mengaku telah diberitahu
langsung oleh teman-teman Randa sendiri bahwa mereka sebenarnya sedang memperagakan
adegan silat dalam sinetron.
Tentunya hal
ini menjadi tamparan besar untuk pertelevisian Indonesia yang dirasakan oleh
banyak masyarakat makin berkurang kualitasnya. Kasus ini harusnya menjadi
contoh untuk orang tua diluar sana agar lebih memperhatikan materi tontonan
sang anak. Karena walau bagaimanpun, sebagai media massa yang
bersifat terbuka, televisi mampu menyebarluaskan suatu pesan untuk diterima
oleh siapapun tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa (Cangara,
2009:127). Alangkah baiknya
jika televisi mampu memanajemen konten siarannya agar tetap berdampak baik
walaupun diterima oleh anak-anak sekalipun. Karena sulit untuk membatasi
seorang anak untuk melihat dan meniru apa yang ditampilkan ditelevisi jika
televisi sudah menjadi bagian dari masyarakat modern.
Banyak sekali
tayangan televisi yang tidak memberikan nilai-nilai pendidikan yang baik, yang
lebih mengedepankan aspek entertainment (hiburan) ketimbang memberikan
informasi dalam rangka mendidik ke ranah kecerdasan dan pendewasaan karakter.
Tayangan televisi tidak memberikan didikan ke arah berpikir kritis dan
inovatif. Maka tidak berlebihan ketika mantan Menteri Pemberdayaan Perempuan,
Meutia Hatta, menduga bahwa tayangan televisi tidak mencerdaskan.
Dalam sebuah
penelitian yang dilakukan oleh Ichsan Fitriyanto (2007, dalam Muzayin Masduki,
dalam Hasanuddin, 2011) yang melakukan penelitian isi tayangan acara televisi
Indonesia dengan menggunakan kategori tayangan hiburan dan edukatif. Program
hiburan mencakup infotainment, musik, talkshow, sinetron dan sejenisnya.
Program edukatif mencakup news, dan feature. Adapun persentase tersebut adalah
sebagai berikut:
No.
|
Stasiun Televisi
|
Tayangan Edukatif
|
Tayangan Hiburan
|
1
|
TPI
|
19%
|
81%
|
2
|
RCTI
|
15,6%
|
84,4%
|
3
|
SCTV
|
14,28%
|
85,72%
|
4
|
ANTV
|
12,24%
|
87,76%
|
5
|
Trans TV
|
29,93%
|
70,7%
|
6
|
Trans 7
|
21%
|
79%
|
7
|
Global TV
|
2,72%
|
97,28%
|
8
|
Lativi
|
5,44%
|
94,56%
|
Sumber : Muzayin Nazaruddin, Televisi dan
Proyek Lupa dalam Masduki dan Muzayin Nazaruddin (ed), Media, Jurnalisme dan
Budaya Populer (Cet. I; Yogyakarta, 2008), h. 116.
Dari tabel
persentase di atas (mengecualikan Metro TV dan TV One), kelihatan dengan jelas
bahwa sebagian besar tayangan dari beberapa stasiun televisi di Indoensia
adalah tayangan hiburan.
Yusuf (2010)
dalam artikelnya menjelaskan bahwa sinetron di hampir semua stasiun televisi
swasta Indonesia tidak beranjak dari tayangan yang menjual mimpi, konflik,
kekerasan, mistik, skandal, selingkuh, rebutan harta, kekuasaan, termasuk
rebutan pacar. Sinetron Indonesia jarang bercerita soal perjuangan, kerja
keras, etos belajar, kesetiakawanan, toleransi, dan nilai-nilai positif
kehidupan sehari-hari. Setting-nya pun disajikan monoton, tak jauh dari
ngobrol di meja makan, jalan-jalan dan pacaran di mall, menyetir mobil,
berkomunikasi lewat handphone, suasana dugem di diskotik dan café-café. Kapan
belajar, kerja, beramal, beribadah, berprestasi, dan etos-etos positif lainnya,
tidak pernah digagas.
Lihatlah
gambaran yang sangat akrab di mata pemirsa televisi: Tokoh-tokoh yang cantik
dan tampan selalu muncul dengan rumah mewah, mobil bagus, baju berganti-ganti,
dan segala sesuatu yang serba “glamor”, mencitrakan gaya hidup hedonis, khas
kaum kelas atas (borjuis). Anehnya, tak pernah dijelaskan atau digambarkan
bagaimana tokoh-tokoh tersebut berkerja dan berusaha mencapai tingkat kehidupan
yang sedemikian sukses. Dalam cerita sinetron, semua disajikan serba instan,
tak perlu ada penggambaran proses perjuangan hidup yang nyata dan jerih payah
apapun. Jika ada, perubahan hidup ditampilkan secara tidak wajar, adakalanya
melibatkan aspek kebetulan yang berlebihan disertai mitos-mitos khayali
(delusion).
Fenomena-fenomena
diatas hanya salah satu contoh dari besarnya peran media massa dalam membentuk
skemata pemirsanya. Maka percuma saja jika pemerintah bersusah payah
mengeluarkan banyak tenaga dan fikiran untuk membasmi kemacetan di Jakarta jika
stereotype masyarakatnya masih sama bahwa, “memiliki mobil pribadi adalah hal
yang keren dan hebat. Naik sepeda atau angkutan umum adalah hal yang sulit,
tidak keren, dan tidak zaman.”
Juga langkah
pemerintah untuk meminimalisir prostitusi akan tetap sulit kalau mindset
masyarakat masih sama, bahwa “pekerja seks adalah hal yang biasa dan tidak tabu
lagi dalam era modern, tidak ada sanksi sosial yang diterima pelaku”, toh dalam
kenyataannya di televisi, artis-artis yang pernah terlibat perilaku seks bebas
masih diberi ruang yang luas untuk tetap menjadi pengisi acara televisi tanpa
ada rasa bersalah ataupun malu, mereka masih diberi ruang untuk menjadi figur,
panutan, idola, bagi orang-orang yang menontonnya. Prostitusi saat
ini bukan lagi hanya masalah ekonomi yang sulit, tapi lebih kepada gaya hidup
demi bisa membeli tas branded, mobil
mewah, dan perhiasan. Yang kembali lagi, gaya hidup glamor tersebut diadopsi
dari tayangan televisi yang menayangkan kesuksessan dengan cara instan.
Peran Televisi
Dalam Membentuk Kembali Gaya Hidup Baru Yang Positif
Niklass Luhmann (2000:107) dalam
konsep schema formation, menjelaskan
bahwa fungsi media massa salah satunya adalah menciptakan trend baru dengan melupakan
trend lama. Media massa memiliki peran sebagai sistem yang mampu menawarkan
sesuatu yang baru pada masyarakat dengan mengajak masyarakat meninggalkan atau
melupakan sesuatu yang lama.
Konsep dari Luhmann ini juga sangat
mungkin digunakan untuk mengubah tatanan gaya hidup masyarakat Indonesia. Nyarwi
(2000:154) juga menyebutkan bahwa media massa mampu menjadi trend setter untuk
menentukan perkembangan kebudayaan, politik social, dan ekonomi yang kian
dibutuhkan masyarakat. Ketika media massa menyadari fungsi mereka sebagai
sebuah sistem yang mampu menciptakan sesuatu yang baru bagi masyarakat, maka
alangkah baiknya jika hal ini dimanfaatkan pemerintah untuk mengajak para
pengelola media televisi agar dapat menciptakan trend-trend positif yang mampu membentuk
stereotype yang baik dalam tatanan gaya hidup. Meskipun Indonesia memiliki gaya
hidup yang sudah membudaya dengan kuat, tetap saja bukan menjadi hal yang tidak
mungkin bahwa media massa mampu membentuk budaya baru lagi. Kalau kita cermati, media
massa bias dengan mudah
menyebarkan budaya K-Pop dan budaya asing lainnya ke Indonesia dengan
sangat kuat. Maka media pasti juga mampu menyebarkan budaya gaya hidup yang
lebih positif.
Seandainya
seluruh pemilik media saling bekerjasama dan bahu-membahu untuk menayangkan
hal-hal yang sebaliknya dari kasus-kasus yang telah dibahas diatas, bukan tidak mungkin gaya hidup masyarakat
sedikit demi sedikit akan berubah menjadi lebih baik dan humanis. Misalnya,
televisi menayangkan siaran-siaran yang para aktor atau aktrisnya belajar
sungguh-sunggu, kerja keras, beribadah, berprestasi, dan bersikap sederhana. Para
pemainnya dapat menggunakan sepeda sebagai trendsetter, dan menanamkan
nilai bahwa bersepeda adalah hal yang benar dan menjadi trend masa kini karena
lebih bersahabat pada lingkungan dan tidak menimbulkan kemacetan, sedangkan
menggunakan mobil pribadi adalah hal yang tidak baik, membuang banyak uang,
sombong, dan merusak lingkungan.
Siaran televisi
juga bisa menanamkan nilai tentang etika yang benar dalam kehidupan
sehari-hari, misalnya menayangkan adegan seseorang yang buang sampah
sembarangan akan dikucilkan karena dianggap penyebab kerusakan lingkungan. Atau
pelajar yang pintar, rajin ke perpustakaan, hormat pada guru dan orangtua
memiliki lebih banyak teman dan disayangi semua orang daripada pelajar yang
suka menghambur-hamburkan uang, memakai rok sekolah mini, dan tidak perduli
dengan guru. Alangkah baiknya jika hal ini diterapkan oleh televisi. Bukan
malah sebaliknya yang sering kita lihat, pelajar yang sering ke perpustakaan
dianggap culun, tidak banyak teman. Guru yang sering ditampilkan ditelevisi
justru menggambarkan guru-guru yang mudah dibodohi oleh siswanya.
Ketika media
televisi saat ini telah menjadi bagian dari pedoman masyarakat, maka konten
televisi sedianya memberikan nilai-nilai heuristik dalam kehidupan masyarakat.
Dengan mengelola konten dengan sedemikian rupa, akan membawa pengaruh positif
bagi pemirsanya. Jika kata Nurudin, “kalau ingin melihat masyarakat, lihatlah
realitas televisinya”. Maka kemampuan manajemen yang baik dalam memproduksi
konten televisi semoga dapat membawa dampak yang baik pula untuk masyarakat.
Itulah sebabnya
televisi harus mengelola konten siarannya kembali dari awal agar setiap
siarannya mengandung nilai yang positif yang bisa masuk dalam benak setiap
orang yang menontonnya agar stereotype masyarakat
dapat berubah. Televisi harus menjamin kebenaran dalam setiap konten yang disiarkannya.
Televisi juga dituntut untuk dapat mengawal nilai-nilai luhur budaya bangsa dan
mensosialisasikannya kepada masyarakat dengan fungsi-fungsi media massa yang
melandasinya, diantaranya adalah memberikan pendidikan untuk membangun karakter
bangsa demi terciptanya sumber daya manusia yang berkarakter. Tatanan
gaya hidup yang liberal dan berbagai permasalahan social dapat diminimalisir
melalui konten siaran televisi yang mampu menyajikan trend baru yang positif
untuk masyarakat. Tentunya trend baru yang ditampilkan tidak bersifat
menggurui.
Penutup
Televisi
sebagai media massa memiliki peran dalam mempengaruhi sikap dan perilaku
masyarakat. Masyarakat dapat menyetujui atau menolak suatu kebijakan pemerintah
melalui media. Lewat media pula berbagai inovasi dan pembaruan bisa
dilaksanakan. Mc Luhan (dalam Nurudin, 2012:69) menyebut media sebagai the extension of man, yaitu media adalah
ekstensi manusia. Dengan kata lain, media adalah perpanjangan dan perluasan
dari kemampuan jasmani dan rohani manusia. Berbagai keinginan, aspirasi,
pendapat, dan sikap manusia bisa disebarluaskan melalui media. Untuk itu,
televisi sebagai media yang dekat dengan audiensnya, akan menjadi aktor yang
tepat dalam mendidik masyarakat. Mendidik kearah pembaruan gaya hidup yang
lebih bernilai positif yang mampu membawa negara menuju kemajuan.
Keteribatan
semua pihak, baik pemerintah, pengelola stasiun televisi, maupun masyarakat
sangat penting untuk perbaikan tatanan gaya hidup bangsa ini. Selain itu,
fungsi televisi adalah sebagai media yang mampu menjaga ideologi (Stuart Hall
dalam Nasrullah, 2013:55). Televisi memiliki kekuasaan dalam membentuk pola
pikir audiensnya dalam mengkonstruksi apa yang mereka lihat melalui tayangan
televisi. Maka sangat mungkin televisi membentuk pola pikir tentang gaya hidup
yang baik melalui pengelolaan konten siaran yang baik pula. Kalau media bisa membentuk ideologi gaya hidup yang metropolis,
maka media juga pasti bisa mengajak masyarakat melupakannya dan membentuk gaya
hidup baru yang humanis.
Referensi
Cangara,
Hafied. (2009). Pengantar Ilmu Komunikasi.
PT RajaGrafindo Persana: Jakarta
Hasanuddin, Idris. (2011). Televisi, Budaya Populer, dan Pendidikan
Islam. (online). (http://www.kompasiana.com/idrishasanuddin/televisi-budaya-populer-dan-pendidikan-islam_550e8096a33311b42dba81fe,
diakses 25/06/2015, 20:51)
Hasrullah. (2013). Beragam
Perspektif Ilmu Komunikasi. Kencana Prenada Media Group: Jakarta
Holmes, David. (2012). Teori Komunikasi Media, Teknologi, dan
Masyarakat, terjemahan: Teguh Wahyu Utomo. Pustaka Pelajar: Yogyakarta
Imanto, Teguh. (2011). Antara
Televisi dan Gaya Hidup. (online) Volume 8, No. 2, Mei 2011. (http://www.esaunggul.ac.id/wp-content/uploads/wp-post-to-pdf-cache/1/antara-televisi-dan-gaya-hidup.pdf.
Diakses 20 mei 2015)
Karman. (2012). Media dan Konstruksi Realitas. (online).
Vol. 16, no. 1, 2012. (http://jurnal.kominfo.go.id/index.php/jskm/article/view/9/25, diakses 19/06/2015, 14:02)
Luhmann, Niklass. (2000). The Reality of Mass Media. Stanford
University Press: California
Pratyaksa, 2013
Lukman, Dauri. (2010). Tinjauan Hukum Media Massa Dan Pers. FH
UI (online). (http://lontar.ui.ac.id/file?file=digital/135659-T%2027929-Analisa%20yuridis-Tinjauan%20literatur.pdf,
diakses 20/06/2015, 08:30)
Milana, Robby. Artikel: Teori Media Dan Masyarakat. Univ.
Muh. Jakarta, MIKOM. (http://documentstore.weebly.com/uploads/4/2/2/7/4227221/review_teori_media.pdf, diakses 25/06/2015, 20:57)
Nazaruddin , Muzayin. (2008). Televisi dan Proyek Lupa dalam
Masduki dan Muzayin Nazaruddin (ed), Media, Jurnalisme dan Budaya Populer.
Yogyakarta: Cet. I
Nurudin. (2012). Sistem Komunikasi Indonesia. PT
RajaGrafindo Persana: Jakarta
Nyarwi.
(2008). Paradoks Media Sebagai Pilar
Keempat Demokrasi. (online)
Volume
12, No. 2, 2008. (http://jurnalsospol.fisipol.ugm.ac.id/index.php/jsp/issue/view/44.
Diakses 23 mei 2015)
Pratyaksa, I Gede Titah. (2013). Peranan Media Massa Dan Opini
Publik Dalam Membangun Isu-Isu Kontroversial. (online). (http://download.portalgaruda.org/article.php?article=117614&val=5, diakses 20/06/2015, 08:12)
Ramadhan, Fahmi Sahru. (2015). Miris, Efek Sinetron 7 Manusia
Harimau Telan Korban Jiwa. (http://www.beranda.co.id/miris-efek-sinetron-7-manusia-harimau-telan-korban-jiwa/14489/,
diakses 25/06/2015, 20:32)
Wirawan, Wisnu. Mempersuasi Massa Dengan Agenda Setting Theory.
(online). http://www.stiks-tarakanita.ac.id/files/Jurnal%20Vol.%202%20No.%202/Tarakanita%20News%20Vol.%208%20Nomor%201/16.%20MEMPERSUASI%20MASSA%20DENGAN%20Agenda.pdf, diakses 25/06/2015, 20:11)
Yusuf, Iwan Awaluddin. (2010). Kritik Sinetron Indonesia:
Menyoal Tayangan “Sampah” di Televisi. (online).
(https://bincangmedia.wordpress.com/2010/03/20/kritik-sinetron-indonesia-menyoal-tayangan-%E2%80%9Csampah%E2%80%9D-di-televisi/
, diakses 25/06/2015, 21:35)
Gambar
1: Moving-forw4rd.blogspot.in/2012/05/bahaya-dampak-positif-dan-negatif.html?m=1
http://nasional.tempo.co/read/news/2009/11/20/058209559/tayangan-televisi-dinilai-ciptakan-tren-kejahatan.
Diakses 24 Mei 2015, 10.14
Komentar
Posting Komentar